“SEMANIS
BONGKOU”
Asmara
yang Terpenjara di Pelataran Multimedia
Oleh: A.N. Sabiyasa
“Hai Vi..!!”
suara Jaka bergetar dengan tatapan mata tetap menunduk. Sambil duduk dan
sesekali mengayun-ayunkan sepasang kakinya untuk mengalihkan rasa grogi yang
kian memuncak.
“Ia, ada apa, Jaka..?!” sahut Vivi seraya
menatap wajah Jaka yang masih menunduk itu dengan penuh tanya.
“Maafkan aku. Kau terlalu indah Vi.., dari
ujung rambut hingga ujung jemari kakimu” Jaka mulai memberanikan diri
mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Vivi.
“Ah.. lebay
kamu.. mana rambutku? Mana kakiku?. Bukankah rambutku tertutup kerudung,
kakipun lagi pake sepatu..!” jawab Vivi
sambil berdiri memberi isyarat dengan memegang kepala yang terbalut kerudung
dan menunjuk sepasang kakiny ayang masih tertutup sepatu hitamnya.
“Hehe iya ya... tapi meskipun rambut dan kakimu
tertutup tetap aku bisa membayangkannya, karena rasaku melampaui itu semua, Vi..!?”
Jawabnya sambil berdiri, kini mereka berdua sama-sama berdiri. Si Jaka dengan
gaya serius, si Vivi tetap dengan respon yang dingin.
“Vivi.. Izinkan aku melukis dirimu, untuk bisa
kunikmati sendiri lukisannya. Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki
lain. Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengkilat, dan
tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis dirimu, tapi jika kau masih juga tidak
mau mengerti, niscaya darahkulah yang akan menjadi catnya..!” Jaka menimpali
dengan tetap melancarkan rayuan mautnya.
“Cie.. cie.. cie... kamu itu ya, dasar
laki-laki, mainnya cuma di kata-kata. Lebaynya
pun minta ampun..! mengerikan, Jak..!. Kayak anak zaman sekarang,
sedikit-sedikit main corat-coret lengan dengan pisau atau kaca hingga
berdarah-darah, wuih...!!” Ujar Vivi dengan tanggapan yang tetap hambar,
maklumlah Vivi ini adalah tipe cewek yang sedikit keras kepala, pola pikirnya
beranjak dewasa, tak mudah terpesona oleh rayuan apalagi hanya dengan kata-kata
puitis.
***
Percakapan tak seimbang antara Jaka dan Vivi tersebut,
tidak hanya terjadi sekali dua kali, bahkan sudah beberapa kali. Lama kelamaan
membuat Jaka berpikir dua kali untuk merayu Vivi dengan kata-kata lagi, bak
pisau hendak mematahkan baja. Sulit..!!
Akhirnya dia berpikir ulang, bagaimana cara
mengungkapkan rasa cinta di hatinya pada Vivi. Jadi sekali lagi, dia tidak
sedang putus asa, hanya berpikir strategi jitu yang mungkin bisa meluluhkan
hati Vivi.
“Oia.. mungkin melalui pihak ketiga, meminta
bantuan teman-teman dekatnya untuk mengungkapkan perasaanku. Ah...! ini tidak gentle..! masak laki-laki masih
menggunakan pihak ketiga, alih-alih sukses, malah kemungkinan pihak ketiga
tersebut yang akan dapat nangkanya, aku dapat getahnya. Biasanya pihak ketiga berubah
jadi Mak Jomblang; ekala’ dhibi’..” Jaka
merenung diteras rumahnya sambil menikmati temaram jingga sang surya di ufuk
barat, memikirkan dan mencari cara untuk meluluhkan hati Vivi.
Tiba-tiba ia dikejutkan kucing miliknya yang
tiba-tiba meloncat dan merebahkan diri dipangkuannya, membuyarkan lamunannya
sore itu. Dengan refleks ia mengelus sayang si kucing itu, sontak kucing
tersebut semakin manja di pangkuan Jaka dengan mlungker di atas haribaannya.
Kini lamunannya berganti, dari memikirkan Vivi
berubah merenungi si Kucing. Wah...!, lamunan kelas kakap ini. Sekilas tentang
kucing, hewan tersebut datang sendiri ke rumahnya, mungkin karena di buang oleh
pemilik sebelumnya, atau mungkin kesasar, atau jangan-jangan kucing kiriman
dari Tuhan untuk menemani Jaka saat kesepian. Entahlah...!
Kucing tersebut awalnya galak, beringas, dan
tidak jinak. Tapi berhubung setiap waktu dan rutin, Jaka selalu memberi makanan
kesukaannya, khususnya ikan laut, dan selalu mengelus-elus si kucing. Meskipun
jarang Jaka berbincang-bincang dengan kucing piaraannya tersebut, tapi kasih
sayangnya pada kucing selalu ditunjukkannya dengan sikap dan perilaku sebagai
bentuk perhatian, akhirnya kucing tersebut mulai jinak dan manganggap si Jaka
sebagai tuannya. Setiap Jaka duduk santai di teras rumahnya, kucing tersebut
mendekat lalu tidur-tiduran di pangkuan Jaka.
“Nah... itu dia, ada isyarat baik ini... Jika
aku memperlakukan kucing liar ini dengan sikap dan perilaku baik mampu merubah
liarnya menjadi Jinak, kenapa tidak aku gunakan untuk mendekati Vivi ya...??”
tiba-tiba terlintas sebuah strategi PDKT di benaknya.
***
Dengan semangat baru, wajah ceria, dengan
balutan senyum bergairah, Jaka beranjak dari duduknya sambil menggendong itu si
kucing, menimang sayang layaknya bayi di gendongan, seraya bernyanyi lembut
lirik lagu India “Rab Ne Bana De Jodi” kesukaannya. Seperti ada wangsit yang
tak sabar ingin dia terapkan dan segera laksanakan. Rencana ikhtiar dan akan
mencoba menggunakan strategi yang baru dia dapatkan, siapa tau mampu meluluhkan
hati Vivi sebagaimana yang telah dia lakukan pada si Kucing. Kucing adalah
hewan, manusiapun juga termasuk hewan. Bedanya, kalau kucing adalah hewan yang
tak berakal, sedangkan manusia adalah hewan yang berakal dan dapat berbicara.
Vivi adalah manusia, dia punya akal. Masak setingkat kucing yang tak berakal
bisa luluh, apalagi setingkat Vivi. Kemungkinan bisa luluh juga nantinya.
Lama menimang dengan iringan nyanyian si Jaka,
suara dengkur kucing semakan lama semakin keras, sepertinya nyenyak sekali
tidurnya kucing tersebut di gendongannya. Perlahan ia letakkan dilantai,
kucingpun terjaga, seraya mengerak-gerakkan ekornya sembil menyerudukkan
kepalanya pada betis Jaka menandakan kucing tersebut masih ingin berlama-lama
digendongan Jaka.
***
Hari sudah mulai gelap, adzan maghrib
berkumandang. Jaka seperti biasa melaksanakan rutinitas petangnya dengan
berkemas dan bergegas ke mushalla untuk shalat maghrib dan ngaji Al-Qur’an pada
Ustadz ngajinya. Maklum dirinya termasuk anak rajin di kampungya, tipe serius menyikapi
sesuatu, tidak neko-neko, baik dalam urusan belajar hingga dalam urusan asmara.
Sehabis shalat Isya berjamaah dengan ustadz dan
teman-temannya yg lain di mushalla lalu ia pulang, makan malam bersama
keluarga, mempersiapkan pelajaran besok dan menelaahnya kembali untuk menjaga
kemungkinan ada tugas rumah dari guru di sekolah yang belum sempat terkerjakan.
Setelah semua beres, segera ia menuju pembaringan
untuk istirahat. Tumben biasanya Jaka masih keluar sebentar untuk sekedar nongkrong dengan teman-temannya di gardu samping rumahnya. Malam tersebut, hasrat
yang demikian tidak ada. Ia lebih memilih langsung tidur, apa mungkin ia tak
sabar menunggu mentari esok hari, atau ingin cepat-cepat ke sekolah dan bertemu
pujaan hatinya. Entahlah..!
Merebahkan badan di atas kasur, meletakkan
kepala di atas bantal, miring memeluk guling, membaca doa sebelum tidur,
memejamkan mata, lalu terlelaplah ia dalam tidur.
***
“Astaghfirullah....!! kenapa dengan
kucingku..??” ia tersentak dan terbangun dari tidurnya lalu duduk seraya membaca
doa bangun tidur. Melihat jam di dinding, ternyata masih menunjukkan jam 03.50
pagi. Rasa kantuk sudah tiada, dan sayup-sayup La-Sola terdengar dari masjid seberang. Udara masih dingin, rasanya
masih enak kalau dilanjutkan tidur. Namun akhirnya ia putuskan untuk beranjak
bangun, menuju kamar mandi untuk persiapan shalat shubuh.
Dalam perjalanan menuju kamar mandi, ia
setengah mencari kucing yang sempat hadir dalam mimpi tidurnya.
“Oh itu kucingku.. rupanya masih tidur
nyenyak..!” Jaka melihat kucingnya masih mlungker
mendengkur di shofa ruang tamu. Sedikit lega terobati setelah sempat khawatir
telah terjadi apa-apa dengan kucingnya.
Setelah shalat shubuh dan langit sudah mulai
terang, ia lakukan aktifitas rumah seperti biasa. Membereskan tempat tidur,
membantu ibu menyiapkan sarapan pagi keluarga di dapur meskipun dirinya anak
laki-laki, menyapu, dan mencuci pakaiannya sendiri.
Pekerjaan rumah selesai, sehabis mencuci
pakaian, mandi, ganti pakaian seragam sekolah, dilanjutkan sarapan pagi bersama
keluarga, lalu ia pamit pada ayah ibu salaman
cium tangan mereka berdua dan berangkat ke sekolah.
***
Sebelum masuk di lingkungan sekolah, Jaka
istirahat sebentar sambil duduk di gardu luar pintu gerbang sekolah. Lalu
muncullah temannya, ia bertemu dengan teman kelasnya yang juga baru datang.
Namanya Lihun, nama lengkapnya Shalihun, namun teman-temannya biasa
memanggilnya “Caesar Lichun” yang dinisbatkan pada Kaisar yang murah hati dan
ikhlas selalu memberi dan berbagi pada teman-temannya. Dia satu jenjang kelas
dengan Jaka, tapi beda ruang. Lihun kelas IX B, dan Jaka kelas IX A.
“Hai Jaka..! ini aku bawa sesuatu untukmu, hari
ini khusus untukmu..!” ucap Lihun seraya merogoh tas ransel yang tertaut di
pundak kirinya.
“Oyah...! bagus tuh...! kamu memang sahabatku
yang top-markotop, Hun..!” seloroh Jaka
menyambut niat baik hati si Lihun.
“Aku berikan padamu disini di luar sekolah,
agar tidak diketahui teman-teman yang lain. Bukan karena apa, aku membawanya
terbatas, Cuma dua ni..! aku satu, kamu satu...” Ujar Lihun sambil mengeluarkan
dari tasnya, menyodorkan satu bungkusan yang ada di tangan kanannya pada Jaka,
dan tangan kirinya tetap memegang yang satunya lagi.
“Wah apa ini...?! kayaknya aromanya aku kenal
deh..!” kata Jaka seraya menciumi bungkusan dari Lihun.
“Ia, itu Bongkou namanya, jajanan khas
Arosbaya, tadi pagi aku dapat dari Ayah yang kebetulan pagi-pagi pergi ke pasar
Arosbaya, sekalian aku nitip itu pada ayah. Nah, mumpung masih ada waktu,
gimana kalau kita makan dulu di sini? Gak enak ama teman-teman yang lain, nanti
disangka aku pilih kasih” Diplomasi Lihun agar Jaka mau menerima tawaran
dirinya untuk makan bersama di gardu luar,
beberapa meter dari sekolah.
“Aduh..! mohon maaf sebelumnya, Lihun!. Bukan
aku gak mau menghormati maksud baikmu
untuk makan bersama di sini. Aku masih kenyang nih dengan sarapan pagi tadi,
gak ada tempat kayaknya di lambung ni...!” jawab Jaka seraya mengelus-putar
perutnya menunjukkan bahwa dirinya masih kenyang.
“Gak
apa-apa ya..?! aku tetap terima hadiah terindahmu pagi ini, nanti istirahat
akan ku makan, kalau perlu bungkusnya akan kumuseumkan nanti di rumah sebagai
bukti hadiah dari teman sejati” sahut lebay
Jaka untuk menangkis diplomasi Lihun.
“Ah kamu..! paggun
bheih...! lebay tingkat dewa..!
gak usah segitunya lah.. biasa aja, gak perlu kau museumkan bungkus Bongkounya
di rumahmu. Kalau misalnya kamu masih kenyang ya gak masalah tidak ikut serta
menyantapnya disini bersamaku. Ingat ya.. gak usah dimuseumkan bungkusnya....
Bahkan kalau kau tidak selera misalnya, boleh kau sedekahkan kembali ke orang
lain. Intinya Bongkou itu apa ca’eng
kakeh..!, Jaka..!!” Ujar Lihun menimpali.
“Baiklah kalau gitu, terima kasih banyak ya...
Selamat menikmati untukmu.. maaf aku tinggalkau kau sendirian..” ucap Jaka
pamitan seraya memasukkan Bongkounya ke dalam tas yang dia gendong.
***
Jam yang melingkar di pergelangan tangan
kirinya menunjukkan jam 06.50 WIB. Sepuluh menit lagi bel berbunyi sebagai
tanda masuk kelas. Di depan pintu kelas Jaka berpapasan dengan Vivi. Mereka
berdua hampir bertubrukan, lalu sama-sama berhenti, sama-sama mundur satu
langkah. Sepasang mata mereka saling menatap, sunyi, senyap tanpa suara.
Seolah-olah ada kekuatan yang menahan mereka untuk berhenti dan tidak saling
mendahului berebut masuk ruangan. Di hati masing-masing, ada beribu kata tapi
tak mampu terucapkan, hati mereka sama-sama bergetar. Dag dig dug ser...! jantung mereka pun sama-sama mendesir memompa
kencang darah untuk untuk lekas mengalir. Duh..! Bede apa jeh..!?
“Silahkan masuk..!! kamu dulu yang masuk!” ujar
Vivi memecah kesunyian mempersilahkan Jaka untuk masuk ruangan lebih dulu.
“Oh, tidak Vi..! dari jarak kita ke daun pintu
tadi, engkaulah yang lebih dekat dengan pintu. Kita budayakan antri, siapa yang
lebih dulu, ya dia yang dapat kesempatan. Silahkan kamu duluan, silahkan
masuk!” sahut Jaka seraya menunduk mempersilahkan Vivi masuk bak mempersilahkan
Sang Ratu.
“Ah.. kamu Jak..! tumben kau bijak hari ini,
mimpi apa semalam dikau itu...? atau jangan-jangan sifat lebaymu mulai kambuh...hehe..” jawab Vivi seraya mengibaskan buku
yang sedang dia pegang ke arah wajahnya, sehingga menimbukan angin yang menerpa
wajah Jaka membuyarkan setengah lamunannya.
“Ayo Jaka...! sebentar lagi Bel berbunyi, guru
datang dan masuk kelas. Apakah kita akan tetap berdiri disini di depan pintu
dengan keangkuhan kita masing-masing!? Dan menghalangi guru masuk ke kelas!?.
Udahlah kamu masuk duluan, lagian
kamu tahu sendiri kan, bahwa laki-laki itu gak boleh berjalan di belakang
perempuan lho...! makanya kamu dulu yang masuk sana, aku menyusul dibelakangmu
nanti.. Okkay..!” papar si Vivi bersikukuh dengan sikapnya.
“Baiklah Vi...! hari ini aku setuju denganmu,
tapi mungkin lain kali tidak, hem..!” jawab Jaka singkat, seraya merogoh tas
miliknya dan mengambil sesuatu. Ya, mengambil bungkusan Bongkou hasil pemberian
temannya, si Lihun, lalu menyodorkannya pada Vivi. Refleks Vivi menerima dengan
tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih memegang buku. Saat serah
terima bungkusan Bonkou itulah, Teeeeettttttt..! bel masuk kelas berbunyi.
“Apa ini Jak..!?” tanya Vivi penasaran sambil
menelisik bungkusan yang barusan ia terima.
“Untukmu, dariku padamu. Simpan saja di tas,
cek lagi nanti pas istirahat” jawab Jaka singkat seraya melangkahkan kaki masuk
kelas, di ikuti Vivi menyusul dibelakangnya yang kepo memasukkan cepat-cepat bungkusan tersebut ke dalam Tasnya.
Khawatir ketahuan guru, kalau ketahuan bisa berabe,
dan tentu Baper.
Selang beberapa lama, datanglah guru jam
pelajaran pertama. Masuk kelas, salam, doa bersama, menyanyikan lagu Indonesia
Raya, membaca sebagian surat-surat pendek, mengabsen, review pelajaran minggu
lalu, menjelaskan garis-garis besar materi dan seterusnya.
Selama pembelajaran berlangsung, Vivi yang
duduk berada di deretan bangku tengah barisan ke tiga, sesekali bahkan sering
memperhatikan Jaka yang kebetulan duduk di bangku barisan paling depan. Masih
dirundung penasaran dengan perubahan mendadak yang terjadi pada temannya itu,
ya si Jaka. Sejak beberapa hari terakhir, Vivi melihat Jaka lebih rendah hati, lebih
banyak mengalah, dan tidak egois. Biasanya si Jaka sering menyerobot antrian,
entah di kantin ataupun ketika hendak masuk kelas. Anehnya lagi, tumben ia mau
berbagi, padahal jarang Vivi menemukan sifat murah hati pada diri Jaka,
biasanya stell chuek’s berkenaan
dengan camilan atau makanan misalnya, jarang sekali menawarkan ke
teman-temannya. Begitulah kecamuk di dalam pikiran Vivi.
Saat pembelajaran berlangsung, eh.. Vivi malah
tak habis pikir dengan gaya berbeda yang ditampilkan oleh si Jaka yang duduk di
depan dengan tenang dan khusuk memperhatikan penjelasan guru. Lha wong biasanya duduk di belakang
sambil tidur-tiduran dan kadang tidur beneran.
***
Sudah tiga hari pasca kejadian “serah terima”
Bongkou di depan pintu itu terjadi. Bagi Vivi, si Jaka benar-benar banyak
perubahan. Awalnya Vivi mengenal Jaka sebagai cowok yang super lebay, apa lagi terhadap dirinya. Kini
sudah mulai berubah, jangankan merayu dengan kata-kata mutiara indah, berbicara
biasa pun dalam tiga hari ini sepertinya tidak pernah. Ia tampak jarang
bergabung dengan teman-teman perempuannya yang lain, lebih banyak menghabiskan
waktunya di perpus, baca-baca buku atau sekedar bergitar ria dengan teman-teman
lelakinya. Latihan futsal atau basket ball di halaman sekolah, saat istirahat
atau setelang pulang.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu,
perubahan pada diri Jaka semakin tampak, khususnya dari pergaulan sehari-hari
di lingkungan sekolah. Jaka lebih sering tampak menyendiri, sesekali main gitar
dengan alunan lagu-lagu mesra yang dia alunkan di bawah pohon keres depan
Multimedia.
Nah... saat seperti inilah, pada diri Vivi
seperti ikutan berubah, ada sekelebat rindu akan kekonyolan bahkan ke-lebay-an Jaka,
ya kangen gaya-gaya Jaka yang dulu,
diskusi dengan ego masing-masing sehingga sama-sama tidak mau kalah. Vivi jadi
rindu itu semua.
“Jaka..! ada apa denganmu, hah..??!!” gumam Vivi
dalam hati merenung sendiri, sambil duduk sendirian di teras kelas
memperhatikan Jaka di bawah Pohon Keres sana yang sedang membawakan lagu India
“Tum Hi Ho” dengan petikan dawai gitar yang ia mainkan.
Dipikir lama dipikir, direfleksi ke beberapa
minggu sebelumnya, tiba-tiba Vivi terantuk pada sebuah peristiwa tempo hari.
Yach.. peristiwa terakhir di depan pintu kelas, peristiwa diskusi singkat namun
debatabel dengan egoisme masing-masing.
“Apa aku telah melakukan kesalahan padanya ya..??!”
pikir Vivi semraut sambil mengeryitkan dahi mencoba mengingat kembali peristiwa
yang telah lalu.
“Apa karena aku tak mau kalah saat diskusi
singkat di depan pintu ya... atau karena aku lupa tak berterima kasih atas
pemberian Bongkou darinya ya.. atau...” Tiba-tiba Vivi teringat pada peristiwa
sebelumnya. Jaka pernah merayu dirinya dengan gaya lebay, meski tak
mengungkapkan asmara secara jelas ketika itu, tapi Vivi mersponnya dengan
dingin bahkan sedikit meremehkan.
“Apa karena rayuan yang ku bilang lebay itu ya...!!??” pungkasnya
mengakhiri lamunannya karena bel istirahat telah berbunyi dan ia langsung
menuju kantin dengan teman-temannya.
***
Sudah lima bulan lebih, perubahan sikap Jaka di
mata Vivi, begitu pula sebaliknya, sikap Vivi di mata Jaka, akhirnya mereka
sama-sama terbiasa dengan perubahan pada diri masing-masing. Tidak ada
pertanyaan maupun jawaban yang terungkapkan di antara keduanya. Mengalir begitu
saja.
Namun pada suatu kesempatan. Saat jam ketiga
dan keempat (08.20 – 09.40) dimana ketika itu dewan guru sedang rapat mendadak
di ruang guru dipimpin langsung oleh kepala sekolah, seperti ada hal yang
krusial yang butuh penyelesaian dan solusi secepatnya. Siswa-siswi diberikan
tugas belajar diluar kelas, membersihkan taman, piket menyapu, menyiangi
rumput, membersikan selokan, dan lain sebagainya.
Setelah proses pembelajaran di luar kelas
tersebut usai, dan rapat dewan guru belum kelar, anak-anak dikasih waktu
istirahat panjang sebelum masuk kelas lagi melanjutkan pembelajaran. Saat
itulah Vivi melihat Jaka sedang sendirian di tempat biasa, main gitar di bawah
pohon keres depan multimedia. Tiba-tiba Vivi berinisiatif kesana menghampiri Jaka.
“Jaka..! bolehkan aku duduk disini?” tanya Vivi
pada Jaka yang tetap asyik dengan gitarnya.
“He’em..!” Jawab Jaka singkat tetap asyik
dengan gitarnya.
Vivi duduk di samping kanan Jaka agak menjauh
sekira dua hastah. Tak ada suara tak ada kata tak ada bahasa dari lisan mereka
berdua. Larut menenggelamkan diri dalam gejolak jiwa masing-masing. Hanya
terdengar dentingan dawai gitar dan suara rendah Jaka yg sedang menyanyikan sebuah
lagu.
“Jaka..!” sahut Vivi memecah kesunyian jiwa,
namun tak ada respon dari Jaka yang tetap asyik memetik gitar.
“Jaka..!? bolehkah aku berbicara denganmu”
sekali lagi Vivi mencoba memulai perbincangan, namun tetap direspon dengan
sikap yang sama seperti sebelumnya.
Beberapa lama Vivi memilih diam tak bertanya
lagi karena respon Jaka masih tetap dingin dan hambar.
Sambil beranjak dari tempat duduknya, akhirnya Vivi
mendekat dan berdiri di hadapan Jaka, menatap wajahnya yang menunduk dan fokus
pada gitar yang ia mainkan. Dengan cekatan Vivi memegang fred gitar yang sedang Jaka mainkan, sehingga suara senarnya pun
terhenti. Jreng..!
“Jaka..!? bisakah kau mendengarkanku? Sebentar
aja!” Suara Vivi rendah melemah berharap agar Jaka berhenti memainkan gitarnya
dan beralih mendengarkan ucapannya.
Akhirnya Jaka memilih berhenti memainkan
petikan gitarnya, dengan pandangan tetap kosong ke bawah, tak berselang lama
kemudian pandangannya ia naikkan ke atas memandang dingin wajah yang sejak tadi
berada dihadapannya.
Gitar tetap berada dalam dekapannya dan
beberapa lama tanpa merespon Vivi, akhirnya Jaka baru bisa menimpali dan
merespon suara Vivi setelah fred gitar sedikit demi sedikit terlepas dari
genggaman Vivi.
“Silahkan duduk, ada apa..?! Jawab Jaka
mempersilahkan Vivi duduk kembali.
Tanpa menjawab sepatah katapun, akhirnya Vivi
duduk ke tempat semula, di emperan teras multimedia. Suasana hening, sehening
jiwa dua manusia ini. Kini mereka berdua seperti dua orang yang sedang tak akur
dengan tatapan kosong ke depan.
Di hadapan mereka, tumbuh dua pohon keres yang
sudah tua, buahnya yang ranum-ranum berguguran berceceran di tanah terkena
injak kaki anak-anak yang mengambil buah yang masih di atas pohon. Mengorbankan
yang sudah masak yang berada di tanah demi mendapatkan buah yang masak yang
masih di pohon. Sekilas terlintas di antara kebisuan pikiran mereka berdua,
ternyata masih sempat memikirkan hal yang sama; tentang buah keres yang masak
yang terjatuh sia-sia di tanah.
“Jaka..! aku tak ingin seperti buah keres itu,
sudah ranum masak ternyata hancur terkena injak anak-anak di tanah. Aku ingin
seperti buah keres yang masak tapi tetap menyatu dengan pohonnya di atas, aku
tak mau terjatuh dan tak termanfaatkan... Ngertikan kau maksudku..!!??” Ulas Vivi
dengan mengiaskan harapan hatinya melalui nasib buah keres yang berjatuhan ke
tanah.
“Entahlah Vi.. Kalimatmu terlalu tinggi dan tak
dapat ku pahami.. aku tak paham apa maksudmu..!” jawab Jaka menimpali.
“Aku perhatikan, aku rasakan, aku jalani, dan
aku alami, kau sudah mulai berubah. Dan perubahanmu sangat tiba-tiba dan drastis.
Aku sempat bertanya-tanya; Kemanakah sikap lebaymu yang dulu?, kemana
pendapat-pendapatmu saat kita diskusi?. Hal demikian sudah tidak kurasakan lagi
sekarang. Sikapmu sudah dingin dan hambar padaku. Jaka..! Apa yang telah
membuatmu bersikap demikian? Apa diriku telah melakukan sesuatu yang
menyinggung perasaan dan melukai hatimu..??!” ujar Vivi setengah mencurahkan
unek-unek hatinya, terbawa perasaan (baper).
“Vivi,, tak ada masalah diantara kita, tidak
ada yang perlu diselesaikan. Kalaupun kau mengatakan aku telah berubah, itu
bukan karena dirimu, kau tidak bermasalah denganku. Jujur.. sebenarnya hubungan
persahabatan kita tetap, tapi dengan cara yang berbeda!” jawab Jaka sudah mulai
membuka diri.
”Nah, itu maksudku..!, berarti kau mulai
benar-benar berubah. Sikap dan perilakumu tidak seperti biasanya lho...!!”
sanggah Vivi dengan wajah yang sedikit berbinar tapi tetap penasaran.
“Aku seperti ini, bukan maksud merubah diri.
Aku hanya ingin belajar menata jiwa agar belajar lebih dewasa. Bagaimana sikap
dan perilaku dewasa, ya begitulah aku belajar..!” ucap Jaka sambil meletakkan
gitar di pampang yang sejak tadi dia
dekap di pangkuannya, sambil mengingsutkan duduknya sedikit miring menghadap Vivi.
“Okelah..! dulu aku dikenal lebay padamu,
egois, dan tak mau mengalah. Sekarang aku belajar untuk merubah itu semua.
Khususnya kepadamu..!” jawab Jaka dengan tegas.
“Lho..!? kok bisa khusus kepadaku, Jaka..!”
jawab Vivi langsung memotong penjelasan Jaka.
“Iya Vi, khusus kepadamu. Aku tidak hanya ingin
menganggapmu sebagai sahabat biasa, tapi lebih dari itu semua.. aku.. aku..”
Suara Jaka seperti terhenti-henti tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
Semacam ada hal aneh yang ada di tenggorokannya sehingga sulit untuk bersuara.
Suasana hening sejenak, Vivi membuang pandangan
ke depan, sesekali melihat keatas pohon keres, menatap beberapa buah keres yang
ranum, kemudian menunduk, menghela napas panjang, dan kembali menatap wajah Jaka
yang tetap masih menunduk dengan mulut yang seperti terkunci. Vivi rupanya
sudah mulai bisa menerka-nerka apa kalimat yang akan terlontar dari lisan Jaka
untuk dan tentang dirinya.
“Maksud kalimatmu -khusus kepadaku-, memangnya tentang
apa Jaka..!?” jawab Vivi memecah kesunyian.
“Vivi.. kau tau kan?!, pemberian terakhirku
padamu di depan kelas dulu sebelum kita masuk ruangan?!” tanya Jaka mengalihkan
sedikit permasalahan ke masa lalu.
“Iya, aku masih ingat. Kau memberiku sebungkus
Bongkou dan aku lupa sampai sekarang belum berterima kasih padamu. Oia.. terima
kasih Ya Jaka Bongkounya..!! enak banget, manis dan aromanya itu bikin aku
ketagihan..! hehe.. apalagi kudapatkan dengan gratis dan cuma-cuma dari seorang
sahabat terbaikku.. heheh..” jawab Vivi dengan sidikit riang dengan maksud
guyon agar suasana tidak tegang.
“Ya itulah perasaanku padamu Vi..! Sejak saat
itu aku sebenarnya ingin mengatakan tentang rasaku ini. Aku ingin seperti
Boungkou yang telah kau cicipi, rasanya manis bukan..!?, aromanya bikin kamu
ketagihan, kan..!? Dan aku memberikannya tanpa mengharap imbalan apapun darimu,
bahkan meskipun kau belum sempat berterima kasih padaku, bagiku tidak masalah.
Karena kata guru kita, pemberian yang ikhlas itu tidak terbahasakan.. makanya
sejak saat itu aku tak pernah mengungkit-ungkitnya lagi...!” Jaka mulai
menjelaskan dan sedikit mengarahkan pada maksud yang sebenarnya. Vivi hanya
diam membisu, mencoba menafsirkan kembali makna dari kalimat-kalimat yang
digunakan Jaka tentang Boungkou.
“Vivi.. Perasaanku padamu sejak saat itu hingga
sekarang, kini menjelma seperti manisnya Bongkou Vi..! aku mencintaimu Vi..!
cinta yang manis semanis Boungkou...! bahkan melebihi dari itu semua.. Aku
tidak akan menjadikanmu pacar.. aku hanya ingin mempersiapkan dirimu sebagai
calon istriku.. Sekali lagi, aku tak ingin mempacari kamu Vi..!” Suara serak Jaka
akhirnya mampu juga mengeluarkan kata-kata terberat yang sejak dulu tersimpan
dalam hati dan pikirannya selama ini. Kini agak lega karena telah berhasil ia
utarakan, mengutarakannya pun dengan kondisi serius dan tidak main-main,
berbeda saat dulu yang masih mengedepankan lebayisme pada perempuan. Kini ia
bahasakan dengan sebenarnya, jiwa dan hati benar-benar jujur sejujur-jujurnya
mengungkapkannya.
“Benarkah dengan perasaanmu, Jaka..!?, Benarkah
apa yang kau katakan..?? Telisik Vivi dengan rasa tak percaya.
“Apa yang harus aku lakukan lagi Vi..! agar
kamu percaya apa yang telah aku ungkapkan?!, Apakah aku harus bilang Jangankan bulan yang aku persembahkan, aku
pun rela terbakar hangus karena merengkuh matahari demi mempersembahkannya
padamu. Tapi yang demikian itu kan terlalu lebai Vi..!? dan kaupun tentu
semakin tidak akan percaya. Atau apakah aku perlu bilang Belahlah dadaku lihatlah jantungku, perhatikan hatiku, disana tertulis
namamu.. tentu sekali lagi tidak Vi..!! kau tidak akan percaya
kalimat-kalimatku tersebut..!” ujar Jaka bak sastrawan yang sedang berpuisi di
atas pentas.
“Bukan begitu Jaka..! ya aku percaya
perasaannmu padaku. Kau itu laki-laki, biasanya berpikir dan bertindak atas
dasar akal pikiran, logika, masuk akal ataukah tidak, mampu ataukah tidak, dan
seterusnya. Jadi, Bisa atau tidak?, masuk akal tidak?, mampu tidak? Kau hendak meminangku,
menikahiku, memperistri aku. Apakah kau sudah sanggup?!! Dengan segala
kelebihan dan kelemahanku? Pun dengan kondisi kita yang masih bau kencur kayak sekarang ini..!!?” Vivi
menjelaskan pada Jaka.
“Sedangkan aku perempuan, biasanya aku berpikir
dan bertindak lebih mengedepankan perasaan. Kalau aku sudah terlanjur serius
dengan seorang laki-laki, serius pada satu pilihan, dan sudah mengambil
keputusan. Maka pantang bagiku untuk pindah kelain hati...!!!, nah saat aku
demikian, tiba-tiba misalnya kamu berubah terhadapku dikemudian hari, begitu
jahatnya dirimu sebagai laki-laki, menggantung perasaanku oleh cinta
monyetmu..! Dan biasanya laki-laki seumuran kita, lebih-lebih kamu, biasanya masih
cinta monyet kan...!!, karena bagiku, untuk seumuran kita saat ini, cinta
sejati itu belum ada. Ia hanya ilusi keindahan semata.. ilusi..!” Lanjut Vivi
seperti menceramahi. Maklum tak dimana-mana, biasanya perempuan lebih cepat
dewasa dibanding laki-laki.
“Ia Vi.. aku hargai pendapatmu.. dan apa yang
kau katakan itu benar adanya.. Aku laki-laki, lebih berat tanggungjawabku
sebagai laki-laki dari pada perempuan. Terus... apa yang harus kau dan aku
lakukan!? “ jelas Jaka mulai sangsi dan was-was setelah diceramahi Vivi.
“Gini aja..!, mohon maaf sebelumnya, aku minta
maaf dengan sangat ya Jaka!” ujar Vivi mengawali pembicaraan kearah keputusan
final tentang tanggapan dirinya trerhadap ungkapan perasaan cinta dari Jaka
tadi.
“Iya Vi.. silahkan kalau kau ingin mengutarakan
sesuatu. Tidak masalah dan apa pun jawabanmu tidak akan aku permasalahkan
kok..!? kata Jaka menenangkan dan meyakinkan Vivi.
“Maafkan aku Jaka..! bukan aku tak ingin
menghargai perasaanmu, bahkan aku berterima kasih padamu telah memilih aku
sebagai salah satu perempuan yang spesial di hatimu, sehingga kau memutuskan
untuk menaruh cintamu padaku, dan itu adalah suatu kehormatan bagiku sebagai
perempuan. Tapi aku hanya ingin bilang padamu, untuk saat ini aku belum
memikirkan sesuatu yang berkenaan dengan cinta, tunangan, apalagi sampai
menikah dan berkeluarga. Sungguh pikiran dan hasratku tidak ke arah tersebut
sama sekali. Apalagi kita ini kan masih SMP, cita-cita kita masih jauh kan!?
Masa depan kita masih panjang kan!? Aku tak ingin cita-cita dan pengembaraan
mencari ilmu ini rusak dan terputus hanya gara-gara mencintai sebelum waktunya.
Alangkah baiknya kita tetap bersahabat seperti biasa, tidak ada ikatan
percintaan laki-perempuan. Cukuplah hubungan persahabatan yang kita jalin, dan
itu lebih indah..! masalah Jodoh.. itu urusan Tuhan, maka kita pasrahkan
pada-Nya saja. Kalau misalnya kita berjodoh maka tidak akan kemana kok..!
heheh.. maaf Jaka..! akuy bukan memberikan harapan palsu lho ya..!?” Jelas Vivi
panjang lebar sambil menorehkan senyum.
“Iya Vi.. benar juga kamu, kalau kamu
berpendapat seperti itu sepertinya aku semakin jatuh cinta padamu..!, hehe..
maksudku jatuh cinta pada sifat bijakmu...!! kedewasaanmu menyadarkanku, hidup
kita, masa depan kita memang masih panjang. Aku pun berpikir demikian. Cita-citaku
masih jauh, masih lama, masih panjang, dan masih ingin melanglang buana
menyusuri alam ilmu. Bahkan aku bercita-cita akan menuntaskan pencarian ilmu
hingga S3, kayak kepala sekolah kita itu, beliau sudah lulus S3, masak kita
anak didiknya tidak...!!??” Jelas Jaka balik pada Vivi. Baik Jaka maupun Vivi
sebenarnya sama-sama memiliki pemahaman yang sama tentang makna cita-cita dan
masa depan. Mereka berdua sama-sama memiliki pola pikir yang mendekati
kedewasaan meskipun umur mereka masih setingkat SMP.
“Baiklah..!, aku hargai pendapatmu, dan aku hormati
keinginanmu. Biarlah cintaku padamu hanya sekedar kisah indah yang berlalu di
semanis Bongkou. Dan kisah pilu karena cinta bertepuk sebelah tangan di
pelataran multimedia ini, biarlah hanya disaksikan oleh pohon keres. Bahwa kita
tetap menjalin persahabatan seperti biasanya, tidak lebih. Aku setuju dengan
pendapatmu, biarlah Tuhan yang menentukan siapakah jodoh kita masing-masing
nantinya, alangkah baiknya kita fokus pada masa belajar kita sekarang. Dan
masalah Cinta; ya... Rab Ne Bana De Jodi, kita berjalan di atas jalan cinta
yang berbeda, dan bertemu di ujung jalan cinta yang sama. Siapa tahu, setelah
kita selesai dengan cita-cita masing, kita dipertemukan dengan cinta yang sama
nantinya.. hehe..” tutup Jaka sambil tersenyum belibis.
“Ah kamu Jaka... ada-ada aja, berarti kamu
masih berharap ya padaku...??!!” Sergah Vivi dengan dibalas senyum pada Jaka.
“Iya sekarang Vi..!, aku masih berharap. Tapi, entah
nanti, mungkin aku sudah pindah ke lain hati.. hehehe...!!!” respon Jaka
setengah guyon.
“Ah.. ngomong
ongguh kakeh, Jaka..!” ujar Vivi seraya beranjak bangkit dari tempat
duduknya.
Bel masuk telah berbunyi, menandakan kelas akan
dimulai. Di hati mereka masing-masing telah menemukan titik akhir keputusan
yang akan dijadikan dasar sebagai pijakan melangkah ke masa depan. Meskipun sebenarnya,
diakui atau tidak, keputusan yang mereka ambil adalah keputusan di atas keputus-asaan.
***